Minggu, 31 Juli 2011

Kritik terhadap karya-karya Affandi

MENERKA-NERKA AFFANDI DI DALAM ‘KE(TIDAK)NYATAAN’

Sebuah usaha menafsir terhadap karya dan diri pelukis Affandi, memang memiliki kerumitan tersendiri. Ada sekian laksa hal misterius yang tetap menjadi teka-teki sampai kini. Terutama, gagasan-gagasan estetik dan visi ke seni-rupaan Affandi yang belum banyak diungkap dalam buku-buku teks sejarah seni rupa modern kita. Tak seperti sejawatnya, Sudjojono yang cenderung, secara individual lebih lugas dan sistematik dalam berpikir dan ‘boros’ berkata-kata, hingga kita menjadi mudah memahaminya. Tentu, dengan kredonya ‘jiwa yang nampak’ yang sering kali dikutip dan diperbincangkan dalam berbagai kajian seni rupa kita.

Sedang Affandi, yang konon memilih hemat untuk ‘curhat’ secara intelektuil, juga keterbatasan data lainnya, yang akhirnya bermuara pada pemaparan dan asumsi-asumsi yang mencipta keburaman demi keburaman pemahaman. Disamping, peran sejarawan dan kritikus seni yang ‘enggan’ menggali ulang hal-hal esensial dari pelukis asal Cirebon ini.

Pada pameran yang digelar besar-besaran di Galeri Nasional , bulan Aguatus 2007 lalu, bekerjasama dengan galeri O House yang dikuratori Jim Supangkat, seakan kita diminta bermain ‘tebak-tebakan’ yang makin menguat, membuat kita, mungkin semakin saja jauh untuk bisa ‘mengenal’ lebih dekat siapa Affandi sebenarnya. Pameran bertajuk The(Un)Real, ini, kita disibukkan menerka terutama, yang pertama, kenapa ada sebuah ‘persandingan’ sang Maestro tersebut dengan para perupa kontemporer Entang Wiharso, Nasirun dan Putu Sutawijaya dalam satu pameran akbar? Yang didalam pengantar kuratorialnya, Jim berkeyakinan, bahwa ada kesamaan pijakan dalam memandang dan menafsirkan ‘realitas dunia’ yang diyakini, sebagai kesadaran secara inderawi dan batiniah yang menjadi sumber gagasan utama ber-kreasi dari keempat seniman.

Lebih jauh, menurut Jim, analisa sosok Affandi yang dikaitkan dengan tiga generasi penerusnya itu, dengan bingkai kerangka paradigmatiknya via pemahaman tentang empat hal, yang berbeda dengan cara seniman barat melihat dunia, yakni: the real, reality, realism dan materialism. Dalam kosa kata bahasa Indonesia, keempatnya bisa dijabarkan sebagai konsep-konsep tentang: yang nyata, kenyataan, realisme dan materialisme. Pemahaman akan keempat hal ini, menjadi soal atas keyakinan terhadap apa yang dimaknai sebagai obyek nyata dan tak nyata, kebendaan dengan kenyataan dan ketidaknyataan yang ada, realisme dan materialisme yang dikaji berbeda, baik bersumber dari dalam maupun di luar diri sebagai energi-energi non materi dan materiil. Semuanya pada akhirnya, bisa dirasakan secara fisik dan terungkap di dalam visualisasi sebuah karya. Dari sinilah, kurator hendak ‘memintal’ benang merah makna spiritualisme, sebagai kata kunci yang membedakan eksistensi estetika barat dan timur dalam pengertian tersebut.

Jika memang demikian, Affandi, dengan konsep berkreasinya yang berlandaskan energi spiritual khas orang timur, bisa saja disandingkan dengan siapa saja yang memiliki latar sensorik kesadaran yang sama (tidak hanya pada Entang, Nasirun ataupun Putu). Taruhlah, perupa kontemporer lain yang mempunyai kemiripan sikap, dengan pendekatan ekspresif-emotif tanpa memakai perencanaan awal sebelum melukis. Dengan bermodal intuisi dan emosi, kemudian berekspresi di depan kanvas. Kita bisa menemukannya di Indonesia, malahan hampir pada setiap perupa. Kalau toh, diimbuhi kriteria mereka yang ‘wajib’ berprestasi, kita bisa lebih selektif memilahnya, mereka yang berusia lebih muda dan ikut berpartisipasi di gelanggang seni rupa internasional. Sebenarnya, sudah sejak dahulu, tak perlu memilih perupa kontemporer, karena memang akar kepercayaan spiritual (keyakinan-keyakinan, seperti: pengaruh energi dalam alam, benda maupun kekuatan magis lain diluar/didalam diri) itulah yang melandasi sikap berkesenian seniman-seniman di Indonesia. Tesa semacam ini, bukanlah sebuah usaha ‘kebaruan’ melacak jejak Affandi pada tataran yang lebih proporsional. Identitas dan konsep kreatif apa yang sejatinya dimiliki menjadi kian menghablur. Apalagi dicari di dalam ‘tubuh’ perupa kontemporer yang memiliki pembabakan antara seni rupa modern dan kontemporer, yang jelas berbeda karakter jika ditinjau dari historisitasnya.

Yang kedua, kurator, pada beberapa pernyataan dan ungkapan, berusaha menyodorkan makna geist timur telah memiliki kedaulatan dan kebebasan, dan berhasil ‘memenangkan’ otoritas ekspresi artistik dan titik tolak estetika yang dimilikinya sendiri. Baginya, hal ini sebagai argumentasi keberpihakan ruang kreatif (secara ontologis) yang sama, yang dimiliki oleh seniman-seniman timur. Hal ini, jauh berbeda ketika barat pada awal abad 19 dengan semangat Cartesian-nya sampai pada abad 20 an, mendominasi sejarah seni rupa dunia serta menisbikan timur untuk tampil ‘tidak utuh’ di panggung dunia. Yang secara ironik, dikemudian hari, pemetaan tersebut luruh dan selanjutnya ‘diralat’ hanya dianggap sebagai diskursus dalam pandangan para dekonstruksionis. Tentu, dengan faham posmodernismenya, mereka mengusung seni rupa kontemporer mengemuka untuk mengambil bagian. Dari sanalah, para perupa dari Asia, Afrika dan Amerika Latin yang pada akhirnya, unjuk gigi memproklamirkan diri di peta penting seni rupa kontemporer dunia dewasa ini.

Konsep kuratorial ini, jelas sangat tendensius, menggiring kearah timpangnya sejarah dunia yang dicurigai ditulis oleh pandangan-pandangan Ero-Amerisentris, hingga — masih menurut Jim — seharusnyalah dengan digelarnya pameran Affandi dan para penerusnya ini, setidaknya akan ‘merevisi’ ataupun ‘mempertanyakan’ ketidak-seimbangan paradigmatik sejarah seni se-jagad tersebut. Namun, bukankah timpangnya sejarah dunia yang dicurigai ditulis dan digerakkan oleh pandangan-pandangan Ero-Amerisentris, dikarenakan desakan dan pandangan-pandangan faham post-strukturalis dari dalam ‘anatomi’ tubuh epistemologis barat sendiri? Selain itu, dalam gejala lain, kesadaran orisinal dan revolusional, seperti yang dilahirkan para pemikir dan seniman dari Amerika Latin dengan keberadaaan mazhab realisme magis di seni misalnya pada abad 20 (Cina dengan realisme sinistik-nya, pada awal abad 21), titik berangkatnya berakar dari khasanah ekspresi lokal yang kemudian diakui dunia. Hal yang demikian, sebaliknya tak kita temui di Indonesia.

Dengan perbandingan diatas, apakah kita, seniman-seniman dan pemikir Indonesia masih bersikeras memiliki kontribusi? Ahasil, digelarnya pameran Affandi dan tiga seniman generasi penerusnya ini, terlalu prematur dianggap sebagai papan pelontar untuk ‘merevisi’ atau bahkan sekedar ‘mempertanyakan’ arus besar paradigmatik sejarah seni se-jagad tersebut.

Yang ketiga, adalah adanya banyak para kritikus, selama ini dikatakan oleh kurator pameran ini, sebagai ‘salah-baca’ akut dalam mengelompokkan karya–karya Affandi dengan terminologi yang dianggap terekat referensi sejarah linearitas yang datang dari barat. Kemudian, lukisan-lukisannya nya otomatis menganut gaya ekspresionistik semata. Memang, suka atau tidak suka, dalam gerakan abstrak-ekspresionisme yang dipelopori di Amerika sejak tahun 1940 an, memang mendesak seni rupa modern dunia untuk menoleh pada pola-pola seperti para seniman genre tersebut yang menolak sensorik nalar. Metode yang demikian, dapat kita temui pula pada Affandi dalam mengeksekusi karyanya dengan ‘letupan’ emosi. Persoalannya, bagaimana membagi dan mengidentifikasi pembabakan proses berkarya Affandi dalam rentang hidupnya yang lama tersebut (1907-1990 dengan warisan sekitar 3000 an karya) dan kaitannya dengan ‘ekspresionistik ala barat’?.

Seharusnya, dalam pameran ini, didedah pula, apakah kita setuju dengan hanya meletakkan Affandi sebagai hanya seniman ekspresionis semata? adakah juga pengaruh selain Eropa dan Amerika yang banyak berpengaruh sepanjang masa hidupnya. Affandi, memang banyak mengutip dan menyebut Goya dan Rembrandt, yang banyak mengilhami lukisan-lukisan realisnya. (lihat buku: Seni Rupa Modern, dalam kritik dan Esay, 1992, wawancara pelukis Mustika dengan Affandi). Tetapi, yang jelas, ada kemungkinan timbulnya pengaruh-pengaruh lainnya, dengan mempertimbangkan, selain lawatannya di berbagai negara Eropa dan keikutsertaanya dalam dua Bienalle bergengsi masa itu (Sao Paulo dan Venesia), Affandi juga berkelana keseluruh daerah-daerah di India.

Dengan demikian, kita bisa melihat ‘paras’ Affandi dengan prespektif lebih kaya, jika kita bisa menemukan ‘sesuatu yang lain’ selain persoalan yang mengulik soal, lagi-lagi spiritualisme saja. Mungkin, sungguh sangat ideal, jika selayaknya para sejarawan seni dan kritikus mulai menambah koleksi perpustakaan nasional seni rupa kita, dengan mengadakan serangkaian penelitian dan menyiapkan seperangkat telaah yang membuka prespektif baru tentang siapa sebenarnya sang maestro lukis kita itu dalam bentuk buku yang komprehensif dan tidak cacat metodologis. Yang paling penting, tidak membiarkan para generasi mendatang hanya dibiarkan menebak-nebak dalam ketidak-nyataan pemahaman.

 

Sumber :

Bambang Asrini Widjanarko*

Tidak ada komentar:

ARTPRENEUR